Rabu, 29 Juni 2011

Umat Hindu Di bali rayakan Sugian Jawa dan Sugian Bali

6 Hari sebelum hari raya Galungan, umat Hindu di Bali khususnya merayakan hari penyucian yang dinamakan Sugian Jawa dan Sugian Bali. Sugian Jawa mempunyai makna penyucian alam semesta (bhuana agung), sedangkan Sugian Bali mempunyai makna penyucian diri sendiri (bhuana alit).

Sugian Jawa diperingati setiap hari Kamis dan Sugian Jawa setiap hari Jumat sebelum Galungan. Upacara ini merupakan rangkaian dari upacara besar umat Hindu, Galungan dan Kuningan. Beberapa upacara yang merupakan rangkaian adalah terhitung dari hari Sugian Jawa, Sugian Bali, jatuh tepat pada hari Sukra Wage, Wuku Sungsang, berlanjut menuju hari Penyekeban, Penyajaan, Penampahan, Galungan, Umanis Galungan, Ulihan, Pamacekan Agung, Penampahan Kuningan, hingga perayaan hari raya Kuningan.

Ketidaksucian bhuana agung, tidak terlepas dari ulah manusia sebagai pemegang otoritas atas bhuana alit. Agar bhuwana agung ini menjadi suci kembali, maka bhuana alit harus dibuat suci terlebih dulu. Caranya dikembalikan kepada manusia sendiri. Kalau tidak mampu memaknai dengan cara upacara, dapat dilakukan dengan cara lain, karena Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah mengisyaratkan, dengan cara apa pun asalkan menuju kepada-Nya, Beliau akan terima. Yang paling penting adalah memahami arti dari ”kesucian” itu sendiri. Kalau itu tidak dipahami, sama saja artinya pergi ke suatu tempat, yang alamatnya tidak jelas.

Dalam kitab Wedanta disebutkan, bahwa manusia terdiri dari badan, manas (pikiran), budhi (kecerdasan) dan atman yang merupakan percikan dari Paraatman. Setiap makhluk hidup mempunyai atman yang sama. Yang membedakan di antara makhluk adalah adanya badan yang membungkusnya, budhi dan manas itu sendiri. Inilah yang bisa membuat manusia menjadi tidak suci. Kebodohan, nafsu dan keinginan-keinginan kotor telah membendung sinar suci atman, sehingga tidak mampu menembus keluar.

Apabila tabir-tabir kebodohan, nafsu dan keinginan kotor itu bisa disingkap, dengan menghilangkan atau menekan serendah mungkin, maka sinar-sinar suci atman akan mampu menembus keluar dari badan manusia.

Dikutip dari berbagai sumber.

Rabu, 22 Juni 2011

Maha Semaya Warga Pande Kota Denpasar Segera Laksanakan Lokasabha


Untuk mengevaluasi eksistensi organisasi sosial keagamaan yang berbasis Warga Pande, Maha semaya Warga Pande Kota Denpasar akan menggelar Lokasabha III di Balai Banjar Pande Kelurahan Renon Denpasar Hari Sabtu 25 Juni 2011 ini.

Pada rapat persiapan dirumah Bapak Ketut Swandi 18 juni 2011, Menurut ketua Paninita lokasabha Bapak I Made Sudiasa bahwa persiapan acara sudah mencapai 80 %. Beliau juga mengatakan bahwa Lokasabha akan dihadiri sekitar 500 peserta dan undangan.

Dalam Lokasabha nanti akan dihadiri oleh Wali Kota Denpasar yang sekaligus membuka acara. Hadir juga nanti Ketua DPRD Kota Denpasar. Undangan juga di smpaikan kepada Ketua PHDI Denpasar, Muspika Denpasar Selatan, Lurah Renon, Bendesa Adat Renon, beserta Kelihan Banjar Adat dan Dinas Br. Pande Renon.

Dari intern Pasemetonan Pande akan hadir beberapa sulinggih Ida Sri Empu Griya Poh Manis, Ida Sri Empu Griya Suci Tatasan dan Ida Sri Empu Griya Tonja yang sekaligus muput acara mejaya - jaya. Jajaran Pengurus MSWP Bali dipastikan hadir, Ketua MSWP Kabupaten se Bali, Ketua Yowana Paramartha Warga Pande Provinsi Bali, serta Ketua Yowana Paramartha warga Pande kabupaten se Bali.

Peserta Lokasabha adalah seluruh Pinandita/Pemangku Pande se-kota Denpasar, Pengurus MSWP Kota Denpasar priode 2005 – 2011, Ketua dan Sekretaris MSWP Kecamatan se Denpasar, utusan Pura Pande se-Denpasar (masing – masing 3 orang), Perwakilan Yowana Pande se-Kota Denpasar.

Hadir juga peninjau yaitu seluruh warga pande dari seluruh Kota Denpasar. Dalam acara lokasabha ini Peserta Lokasabaha memiliki hak suara dan hak untuk dipilih, sedangkan para peninjau hanya memiliki hak untuk dipilih tanpa memiliki hak suara.

Rangkean acara lokasabha di mulai pukul 08.00 wita, diawali oleh registrasi peserta, laporan ketua panitia, Sambutan Ketua MSWP provinsi Bali, pembukaan oleh Wali Kota Denpasar,Dharma WecanaKetua PHDI Kota Denpasar, Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus MSWP Kota Denpasar periode 2005 – 2011, Pelantikan Pengurus MSWP kota Denpasar, Pelantikan Pengurus Yowana Paramartha Warga Pande Kota Denpasar yang pertama, dan Mejaya – jaya Pengurus baru di Pura Penataran Pande renon Denpasar.

Semoga acara lokasabha Maha Semaya Warga Pande Kota Denpasar berjalan dengan lancar, dan semoga “ Melalui Lokasabha III Maha Semaya Warga Pande Kota Denpasar, kita tingkatkan Dharma Agama dan Dharma Agama Umat, Menuju Masyarakat yang Keratif Canti lan Jagathitha”

Selasa, 14 Juni 2011

Aedan Karya ring Pura Penataran Pande Tamblingan


I

Upacara Melaspas

Rahina

Tanggal

Jam

:

:

:

:

Prelinggan Ida Bhetara, Bale Gong, Penyawang Ke Alas

Wharaspati Pon Kuningan

14 Juli 2011

10.00 wita

Nyoreang kelaksanayang Pemelastian

Wengi kirang langkung galah 22.00 wita pretima / perlinggan Ida Bhetara Keiring Ke luhur pacing Kepasupati (Mepinton)

Binjang Nyane ring rahina Sukra galah 08.00wita prelinggan ida bhetara mewali ke Pura

II

Upacara

Rahina

Tanggal

Jam

:

:

:

:

Piodalan

Sukra Wage Kuningan

15 Juli 2011

10.00 wita

III

Upacara

Rahina

Tanggal

Jam

:

:

:

:

Penganyarin

Saniscara Keliwon Kuningan (Tumpek Kuningan)

16 Juli 2011

10.00 wita

IV

Upacara

Rahina

Tanggal

Jam

:

:

:

:

Penyineb

Redite Umanis Langkir

17 Juli 2011

10.00 wita

“DUMOGI SEMETON TITIANG MAKASAMI PRESIDA TANGKIL RING PURA PENATARAN PANDE TAMBLINGAN”

Kamis, 09 Juni 2011

Tumbuhan pun harus di upacarai………


Saniscara keliwon wuku wariga bertepatan dengan tanggal 11 Juni 2011, menurut kepercayaan umat hindu dikatakan sebagai Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag. Dalam tumpek pengatag ini dilakukan upacara selamatan pada tumbuh – tumbuhan (otonan tetanduran). Upakara yang dibuat dalam otonan ini dinamakan Banten Pengatag yang didalamnya berisi Peras Daksina, Peras tulung sayut, ayaban, lis pengatag dan yang lainnya.

Selain upacara pengatag atau otonan tetnaduran, ada momentum penting dalam tumpek wariga ini. Tumpek pengatag merupakan awal di mulainya rangkaean Hari Raya Galungan yang waktunya selama 60 hari. Upacara selamatan pada tumbuhan ini bertujuan, memohon anugrah dari tuhan agar di berikan hasil tanaman yang berlimpah yang dipakai sebagai upacara pada saat galungan. “ Kak kak bin selae lemeng (25 hari) Galungan, Nged nged nyen mebuah pang ada alap anggo galungan, sisane kel adep ango bekel” begitu biasanya ucapan pada saat menjalan upacara otonan ini sambil memukul – mukulkan gagang pisau bersamaan dengan lis pengatag. Harapan dari umat agar hasil tanaman dapat dipakai sampai berakhirnya rangkean Hari Raya Galungan tersebut pada Budha Keliwon Pahang atau buda keliwon pegat tuwakan tepatnya tanggal 10 Agustus 2011.

Lontar Sundarigama yang memberi petunjuk tentang hari-hari raya Hindu di Indonesia menyatakan : Hari Tumpek pengatag adalah upacara selamatan untuk tumbuh – tumbuhan yang dimamfaatkan hasilnya. Tetapi bukan tumbuhannya yang di puja, namun pada hakekatnya adalah untuk memuja Tuhan Yang Mahaesa yangmemberikan anugrahnya melalui tumbuh – tumbuhan. Demikian pula terhadap binatang, senjata-senjata, gamelan dan sebagainya. Mengapa membuat upacara selamatan terhadap hal-hal tersebut ? Dalam ajaran agama Hindu, keharmonisan hidup dengan semua makhluk dan alam semesta senantiasa diamanatkan. Manusia hendaknya selaras dan hidup hamonis dengan alam semesta,khususnya bumi ini dan dengan ciptaan-Nya yang lain, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dalam ajaran Hindu, semua makhluk diyakini memiliki jiwa yang berasal dari Tuhan Yang Mahaesa. Doa umat Hindu sehari-hari (dalam puja Tri Sandhya) dengan tegas menyatakan : Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk hidup sejahtra) .

Pelestarian lingkungan hidup

Agama Hindu di Bali telah manyatu padu dengan kehidupan masyarakat Bali. Bagi para pengamat sepintas, sangat sulit membedakan antara agama, adat, budaya, tradisi dan sebagainya yang telah sedemikian rupa terjalin bagaikan kain endek atau tenun ikat Bali. Seseorang sering menyatakan untuk kegiatan upacara agama disebut upacara adat. Di Bali tidak ada adat yang memiliki upacara. Semua upacara yang dilakukan di Bali sesungguhnya adalah upacara agama. Demikian pula seni budaya Bali, pada mulanya diabdikan hanya untuk keagungan Tuhan Yang Mahaesa, namun kini merupakan sesuatu yang menarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Upacara-upacara keagmaan di Bali, khususnya upacara Tumpek membawa missi pelestarian lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya. Pelestarian lingkungan alam ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya, selanjutnya pelestarian lingkungan budaya ditujukan antara lain kepada benda-benda seni seperti gamelan, wayang dan lain sebagainya. Upacara-upacara yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup ini disebut upacara Bhuta Yajna dengan berbagai jenis atau tingkatannya, Dari yang paling sederhana mempersembahkan sejumput nasi setelah memasak, sampai pula Tawur atau Caru Ekadasa Rudra yang dilakukan seratus tahun sekali. Apakah upacara-upacara sejenis ditemukan di India ? Penulis sepintas menemukan adanya benang merah antara India dan Bali. Sebagai dimaklumi bahwa ciri khas dari agama Hindu adalah dimana agama ini dianut, disana budaya setempat dilestarikan. Ibarat air sungai Gangga, kemana aliran sungai itu mengalir, di sanalah daerahnya berkembang dan tumbuh subur. Demikian pula halnya upacara-upacara yang kita jumpai di Indonesia, di India juga dilaksanakan misalnya Ayudhapuja, yakni upacara selamatan terhadap semua senjata, di Indonesia kita kenal dengan Tumpek Landep. Demikian pula untuk tumbuh-tumbuhan (Sankarapuja) dan lain-lain, misalnya Sarasvati, Sivaratri, Galungan-Kuningan dan sebagainya. Dari beraneka hari-hari raya itu tidak semua dirayakan dengan besar-besaran, ada dengan sangat sederhana bahkan ada hanya dengan melaksanakan Brata atau Upavasa (puasa). Demikian pula tentang pelaksanaannya di India Utara dan Selatan, Timur atau Barat sangat berbeda, apalagi dengan Indonesia atau Bali. Semua perbedaan itu disebabkan pula oleh faktor budaya umat pendukungnya.

Memaknai tumpek pengatag ini, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan, manusia tidak bisa lepas dari hasil alam khususnya hasil dari tumbuhan. Sehubungan dengan hal tersebut sebagai manusia kita harus mampu menjaga kelestarian alam terutama kelestarian tumbuhan. Jangan sampai karena keinginan untuk memenuhi kantaong pribadai ala mini dirusak.

Penebangan pohon dengan liar akan memberikan dampak negatif bagi kita semua. Disamping akan merusak isi alam, juga akan menimbulakan bahaya yang diakibatkan oleh gundulnya hutan. Dari bencana erosi yang selalu menghantui, tanah kering kerontang sampai banjir yang mengancam jiwa kita. Ancaman akan pemanasan global akan semakin mengancam kita akibat rusaknya hutan.

Semoga makna dari tumpek pengatag ini bisa membuka pikiran para pelaku illegal loging agar tidak melakukan perbuatannya lagi, demi terjaganya alam untuk rejeki generasi nanti.

Sumber :

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=135&Itemid=79