Minggu, 29 Januari 2012

Penyucian Jiwa Menyongsong Kemenangan Dharma


Buda keliwon uku dunggulan ngaran galungan, makna perayaan galungan adalah Kemenangan Dharma melawan Adharma. Dharma dan Adharma Pada hari raya suci Galungan dan Kuningan umat Hindu secara ritual dan spiritual melaksanakannya dengan suasana hati yang damai. Pada hakekatnya hari raya suci Galungan dan Kuningan yang telah mengumandang di masyarakat adalah kemenangan dharma melawan adharma. Artinya dalam konteks tersebut kita hendaknya mampu instrospeksi diri siapa sesungguhnya jati diri kita, manusia yang dikatakan dewa ya, manusa ya, bhuta ya itu akan selalu ada dalam dirinya. Bagaimana cara menemukan hakekat dirinya yang sejati?, "matutur ikang atma ri jatinya" (Sanghyang Atma sadar akan jati dirinya).

Hal ini hendaknya melalui proses pendakian spiritual menuju kesadaran yang sejati, seperti halnya hari Raya Galungan dan Kuningan dari hari pra hari H, hari H dan pasca hari H manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam dirinya, di dalam upaya menegakkan dharma didalam dirinya maupun diluar dirinya. Sifat-sifat adharma (bhuta) didalam dirinya dan diluar dirinya disomya agar menjadi dharma (Dewa), sehingga dunia ini menjadi seimbang (jagadhita). Dharma dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu ada didunia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan sehingga evolusi didunia bisa berjalan.

Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :

"Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika".

Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.

Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Sarasamuccaya (sloka 564) menyebutkan :

"Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan".

Artinya:

Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan.

Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri kita. (WHD No. 436 Juni 2003).

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=372&Itemid=2&limit=1&limitstart=0

Rankaian Galungan sebenarnya sudah di mulai sejak Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon kehadapan Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh tumbuhan agar Beliau menganugrahkan supaya hasil pertanian meningkat. Selanjutnya rangkaian galungan dilanjutkan dengan Sugian Tenten pada hari Budha Pon wuku Sungsang. Sugian Jawa pada hari Wrehaspati Wage wuku Sungsang dan besoknya pada hari Sukra Kliwon Sungsang disebut Sugian Bali.
Pada hari Sugian Tenten ini tidak ada dinyatakan untuk melakukan suatu upakara. Cuma kalau dilihat dari arti kata tenten yang artinya sadar atau terbangun. Dari sudut ini dapat diartikan bahwa Sugian Tenten itu adalah Sugian untuk membangunkan kesadaran diri guna bangkit berjuang menegakkan Dharma.

Pada hari berikutnya dirayakan Sugian Jawa. Dalam Lontar Sundarigama dinyatakan Sugian Jawa ngaran amrastista bhuwana agung. Artinya, saat hari Sugian Jawa itu sebagai suatu peringatan membangun kesadaran rohani untuk selalu menjaga kelestarian alam. Kata Jawa dalam hal ini berarti jaba yang artinya di luar diri yaitu alam lingkungan tempat kita hidup ini, Hari raya selanjutnya adalah merayakan Sugian Bali. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta artinya dalam kamus the powerfull yaitu kekuatan yang maha agung. Kekuatan yang disebut Bali atau Bala itu ada dalam diri kita sendiri sebagai manusia ciptaan Tuhan. Dalam Lontar Sundarigama dinyatakan Sugian Bali ngaran amretistha raga tawulan. Artinya Sugian Bali namanya adalah menyucikan badan diri sendiri.

Redite Paing Dungulan disebut penyekeban Pada hari ini adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa, maka pada hari ini para wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana). Besoknya Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri seperti yoga semadi. Selanjutnya Anggara Wage Dungulan disebut penampahan melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh di halaman rumah, agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa. Besoknya Buda Kliwon Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Wrespati Umanis Dungulan disebut Manis Galungan, umat saling kunjung-mengunjungi dan maaf-memaafkan. Selanjutnya Saniscara Pon Dungulan disebut pemaridan guru pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara, Redite Wage Kuningan disebut ulihan kembalinya Dewa dan Pitara kekahyangan.

Selanjutnya Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung Dewa beserta pengiringnya kembali dan sampai ketempat masing-masing. Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan untuk menyambut hari Raya Kuningan. Besoknya Saniscara Kliwon Kuningan hari Raya Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Upacara menghaturkan saji hendaknya.dilaksanakan jangan sampai lewat tengah hari, mengapa ? Karena pada tengah hari para Dewata diceritakan kembali ke swarga. Kemudian yang paling akhir dari rangkaian hari raya Galungan yaitu Buda Kliwon Pahang disebut pegat uwakan akhir dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai pewarah Dewi Durga kepada Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut penjor kemudian dibakar, abunya dimasukkan kedalam bungkak gading ditanam di pekarangan

Memaknai kemenangan Dharma melawan Adharma pada masa kekinian, sebagai generasi muda hindu, sudah seharusnya semangat galungan ini dijadikan pedoman dalam melaksanakan kehidupan sehari – hari. Dalam melaksanakan swadharmaning jatma, sudah seharusnya selalu berlandaskan pada dharma (kebaikan). Dengan melaksanakan semangat galungan ini dalam kehidupan niscaya kedamaian akan tercapai dalam hidup ini

Rahajeng Galungan lan Kuningan dumogi ngemolihan kerahajengan lan kerahayuan doh saking sekancan kapiambeng.

Rabu, 25 Januari 2012

Makna rerahinan sugian

Berikut makna sugian yg saya kutip dari situs hindu bali, yg merupakan tulisan di Bali Post tahun 2005 dulu,,PERAYAAN sebelum Galungan dan Kuningan di Bali mengenal istilah hari raya Sugian, Embang Sugi, Penyajaan dan Penampahan. Dalam Lontar Sundarigama dikenal adanya Sugian Tenten, Sugian Jawa dan Sugian Bali. Sugian Tenten pada hari Budha Pon wuku Sungsang. Sugian Jawa pada hari Wrehaspati Wage wuku Sungsang dan besoknya pada hari Sukra Kliwon Sungsang disebut Sugian Bali.

Pada hari Sugian Tenten ini tidak ada dinyatakan untuk melakukan suatu upakara. Cuma kalau dilihat dari arti kata tenten yang artinya sadar atau terbangun. Dari sudut ini dapat diartikan bahwa Sugian Tenten itu adalah Sugian untuk membangunkan kesadaran diri guna bangkit berjuang menegakkan Dharma. Ini artinya perjuangan hidup untuk menegakkan Dharma ini dimulai dari kesadaran diri atau merasa terpanggil dalam perjuangan Dharma ini. Jadinya bukan karena diajak-ajak oleh pihak lain. Inilah suatu ajaran untuk membangun diri sendiri secara sadar hidup pada garis Dharma.

Pada hari berikutnya dirayakan Sugian Jawa. Dalam Lontar Sundarigama dinyatakan Sugian Jawa ngaran amrastista bhuwana agung. Artinya, saat hari Sugian Jawa itu sebagai suatu peringatan membangun kesadaran rohani untuk selalu menjaga kelestarian alam. Kata Jawa dalam hal ini berarti jaba yang artinya di luar diri yaitu alam lingkungan tempat kita hidup ini. Karunia Tuhan akan kita rasakan apabila dalam kehidupan kita sehari-hari di bumi ini kita tidak merusak kelestarian alam.

Dalam Mantra Yajurveda XXXX, 1 dinyatakan : Isyavasam idam sarvam jagat. Artinya, Tuhan berstana di seluruh alam semesta ini. Ini artinya kalau kita merusak alam berarti kita merusak badan jasmani Tuhan. Tuhan sebagai jiwa Bhuwana Agung disebut perayaan Sugian Jawa pada hari Wrehaspati Wage Sungsang sebagai peringatan spiritual dengan cara ritual agar umat manusia terus-menerus menjaga kelestarian alam lingkungan hidupnya. Akan menjadi aneh kalau kita merayakan Sugian Jawa dengan upacara yang meriah bahkan kadang-kadang mewah tetapi perilaku kita terus merusak lingkungan alam ini. Membuang sampah ke sungai atau sembarang tempat yang dapat menimbulkan rusaknya lingkungan adalah perbuatan yang bertentangan dengan makna Sugian Jawa. Membiarkan asap mobil atau mesin lainnya bertebaran di udara juga termasuk merusak lingkungan. Apalagi membuat gundulnya hutan, itu sangat bertentangan dengan makna perayaan Sugian Jawa.

Hari raya selanjutnya adalah merayakan Sugian Bali. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta artinya dalam kamus the powerfull yaitu kekuatan yang maha agung.

Kekuatan yang disebut Bali atau Bala itu ada dalam diri kita sendiri sebagai manusia ciptaan Tuhan. Dalam Lontar Sundarigama dinyatakan Sugian Bali ngaran amretistha raga tawulan. Artinya Sugian Bali namanya adalah menyucikan badan diri sendiri.

Badan sebagai stana Sang Hyang Atma dalam Wrehaspati dinyatakan sebagai sarira.

Ada tiga lapisan sarira yang menyelubungi Atman. Tiga lapisan badan itu disebut Tri Sarira yaitu Stula, Suksma dan Anta Karana Sarira. Stula Sarira adalah badan wadah yang dibangun oleh Panca Maha Bhuta. Suksma Sarira adalah lapisan badan yang bersifat non fisik seperti kesadaran budhi, pikiran dan rasa diri atau ahamkara. Sarira yang ketiga disebut Anta Karana Sarira yaitu badan penyebab yaitu jiwa yang memberikan hidup pada semua badan manusia ini.

Perayaan Sugian Bali adalah suatu peringatan rohani agar manusia senantiasa memelihara kebersihan dan kesucian ketiga badannya itu. Kalau ketiga badan itu kita lalaikan merawat kesehatannya maka ia pun akan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sarira yang tidak terawat dengan baik tidak bisa menjadi media untuk mengimplementasikan kesucian Atman dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, lewat sugian Bali ini diingatkan dengan prosesi ritual setiap enam bulan agar umat manusia senantiasa merawat kesehatan ketiga sariranya agar dapat berfungsi dengan baik mengejawantahkan kesucian Atman dalam perilaku sehari-hari.

Jumat, 20 Januari 2012

Makna Hari Suci Siwaratri


Perayaan Hari Suci Siwaratri bagi umat Hindu merupakan kegiatan keagamaan rutin tahunan yang dirayakan setiap Purwaning Tilem sasih kepitu. Untuk tahun 2012 dirayakan pada malam tilem ke pitu (minggu, 22 januari 2012). Siwaratri sendiri memiliki makna malam perenungan dosa.

Perayaan Siwaratri pada awalnya dikenal dari Kisah Seorang pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari saat melakukan perburuan, ia sama sekali tidak mendapatkan buruan. Lubdaka tidak membawa makanan ataupun minuman. Oleh karena hari sudah menjelang malam maka ia memutuskan untuk memanjat sebuah pohon yang dikenal dengan pohon Billa di tepi telaga. Tujuannya adalah agar tidak dimakan oleh hewan buas.. Hari pun menjelang malam, Lubdaka tidak berani tidur karena takut terjatuh, maka ia terjaga semalaman sambil memetik satu persatu daun billa agar tidak mengantuk.

Malam itu ternyata bertepatan dengan purwaning tilem sasih kepitu. Saat itu adalah saat dimana Dewa Siwa melakukan Tapa Bratha. Saat memetik daun billa tersebut, daunnya berjatuhan dan mengenai lingga siwa. Maka saat itu Lubdaka secara tidak langsung melakukan pemujaan terhadap siwa.Sekian lama waktu berjalan, Lubdaka pun meninggal karena sakit. Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma Sang Lubdaka.

Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.

Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa) salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri). Untuk cerita lengkapnya bisa baca disini.

Begitulah kisah sang Lubdaka yang menjadi dasar pelaksanaan perayaan Siwaratri. Kalau melihat kisah tersebut, kebanyakan masyarakan melakukan penafsiran yang salah tentang malam Siwaratri. Malam siwaratri di anggap sebagai malam penghapusan dosa. Dalam Agama Hindu Dosa kita tidak akan bisa dihapuskan karena kita mengenal akan adanya hukum Karmaphala. Ingatkah kalian bahwa sang Pandawa pun tak luput dari dosa, mereka sempat di jebloskan di neraka.

Malam Siwaratri sebenarnya merupakan suatu malam perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan selama ini agar kita bisa intropeksi diri. Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata :

Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh darikeramaian.

Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.

Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.

Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu untuk melakukan Bratha Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu indria, ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).

Makna Siwaratri adalah agar manusia menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan terhapus. Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.

Yang mungkin menjadi pertanyaan kita selama ini adalah apa sebenarnya tujuan pelaksanaan Mono bratha, Upasawa, dan Jagra. Secara singkat tujuan dari ketiga bratha Siwaratri itu adalah sebagai berikut:

1) Monobrata pada hari suci Siwaratri diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan seterusnya.

Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.Tapa monbrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan kata-kata yang kasarTambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka, sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.

2) Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata. Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah. Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.

3) Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.

Sumber: www.singaraja.wordpress.com, www.moroners.wordpress.com, www.iloveblue.com, dan www.parissweethome.com.

http://githa90.wordpress.com/2010/01/22/makna-hari-suci-siwaratri/