Sabtu, 13 November 2010

Tumbuhan pun harus di upacarai………


Saniscara keliwon wuku wariga bertepatan dengan tanggal 13 Nopember 2010, menurut kepercayaan umat hindu dikatakan sebagai Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag. Dalam tumpek pengatag ini dilakukan upacara selamatan pada tumbuh – tumbuhan (otonan tetanduran). Upakara yang dibuat dalam otonan ini dinamakan Banten Pengatag yang didalamnya berisi Peras Daksina, Peras tulung sayut, ayaban, lis pengatag dan yang lainnya.

Selain upacara pengatag atau otonan tetnaduran, ada momentum penting dalam tumpek wariga ini. Tumpek pengatag merupakan awal di mulainya rangkaean Hari Raya Galungan yang waktunya selama 60 hari. Upacara selamatan pada tumbuhan ini bertujuan, memohon anugrah dari tuhan agar di berikan hasil tanaman yang berlimpah yang dipakai sebagai upacara pada saat galungan. “ Kak kak bin selae lemeng (25 hari) Galungan, Nged nged nyen mebuah pang ada alap anggo galungan, sisane kel adep ango bekel” begitu biasanya ucapan pada saat menjalan upacara otonan ini sambil memukul – mukulkan gagang pisau bersamaan dengan lis pengatag. Harapan dari umat agar hasil tanaman dapat dipakai sampai berakhirnya rangkean Hari Raya Galungan tersebut pada Budha Keliwon Pahang atau buda keliwon pegat tuwakan tepatnya tanggal 12 januari 2011.

Lontar Sundarigama yang memberi petunjuk tentang hari-hari raya Hindu di Indonesia menyatakan : Hari Tumpek pengatag adalah upacara selamatan untuk tumbuh – tumbuhan yang dimamfaatkan hasilnya. Tetapi bukan tumbuhannya yang di puja, namun pada hakekatnya adalah untuk memuja Tuhan Yang Mahaesa yangmemberikan anugrahnya melalui tumbuh – tumbuhan. Demikian pula terhadap binatang, senjata-senjata, gamelan dan sebagainya. Mengapa membuat upacara selamatan terhadap hal-hal tersebut ? Dalam ajaran agama Hindu, keharmonisan hidup dengan semua makhluk dan alam semesta senantiasa diamanatkan. Manusia hendaknya selaras dan hidup hamonis dengan alam semesta,khususnya bumi ini dan dengan ciptaan-Nya yang lain, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dalam ajaran Hindu, semua makhluk diyakini memiliki jiwa yang berasal dari Tuhan Yang Mahaesa. Doa umat Hindu sehari-hari (dalam puja Tri Sandhya) dengan tegas menyatakan : Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk hidup sejahtra) .

Pelestarian lingkungan hidup

Agama Hindu di Bali telah manyatu padu dengan kehidupan masyarakat Bali. Bagi para pengamat sepintas, sangat sulit membedakan antara agama, adat, budaya, tradisi dan sebagainya yang telah sedemikian rupa terjalin bagaikan kain endek atau tenun ikat Bali. Seseorang sering menyatakan untuk kegiatan upacara agama disebut upacara adat. Di Bali tidak ada adat yang memiliki upacara. Semua upacara yang dilakukan di Bali sesungguhnya adalah upacara agama. Demikian pula seni budaya Bali, pada mulanya diabdikan hanya untuk keagungan Tuhan Yang Mahaesa, namun kini merupakan sesuatu yang menarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Upacara-upacara keagmaan di Bali, khususnya upacara Tumpek membawa missi pelestarian lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya. Pelestarian lingkungan alam ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya, selanjutnya pelestarian lingkungan budaya ditujukan antara lain kepada benda-benda seni seperti gamelan, wayang dan lain sebagainya. Upacara-upacara yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup ini disebut upacara Bhuta Yajna dengan berbagai jenis atau tingkatannya, Dari yang paling sederhana mempersembahkan sejumput nasi setelah memasak, sampai pula Tawur atau Caru Ekadasa Rudra yang dilakukan seratus tahun sekali. Apakah upacara-upacara sejenis ditemukan di India ? Penulis sepintas menemukan adanya benang merah antara India dan Bali. Sebagai dimaklumi bahwa ciri khas dari agama Hindu adalah dimana agama ini dianut, disana budaya setempat dilestarikan. Ibarat air sungai Gangga, kemana aliran sungai itu mengalir, di sanalah daerahnya berkembang dan tumbuh subur. Demikian pula halnya upacara-upacara yang kita jumpai di Indonesia, di India juga dilaksanakan misalnya Ayudhapuja, yakni upacara selamatan terhadap semua senjata, di Indonesia kita kenal dengan Tumpek Landep. Demikian pula untuk tumbuh-tumbuhan (Sankarapuja) dan lain-lain, misalnya Sarasvati, Sivaratri, Galungan-Kuningan dan sebagainya. Dari beraneka hari-hari raya itu tidak semua dirayakan dengan besar-besaran, ada dengan sangat sederhana bahkan ada hanya dengan melaksanakan Brata atau Upavasa (puasa). Demikian pula tentang pelaksanaannya di India Utara dan Selatan, Timur atau Barat sangat berbeda, apalagi dengan Indonesia atau Bali. Semua perbedaan itu disebabkan pula oleh faktor budaya umat pendukungnya.

Memaknai tumpek pengatag ini, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan, manusia tidak bisa lepas dari hasil alam khususnya hasil dari tumbuhan. Sehubungan dengan hal tersebut sebagai manusia kita harus mampu menjaga kelestarian alam terutama kelestarian tumbuhan. Jangan sampai karena keinginan untuk memenuhi kantaong pribadai ala mini dirusak.

Penebangan pohon dengan liar akan memberikan dampak negatif bagi kita semua. Disamping akan merusak isi alam, juga akan menimbulakan bahaya yang diakibatkan oleh gundulnya hutan. Dari bencana erosi yang selalu menghantui, tanah kering kerontang sampai banjir yang mengancam jiwa kita. Ancaman akan pemanasan global akan semakin mengancam kita akibat rusaknya hutan.

Semoga makna dari tumpek pengatag ini bisa membuka pikiran para pelaku illegal loging agar tidak melakukan perbuatannya lagi, demi terjaganya alam untuk rejeki generasi nanti.

Sumber :

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=135&Itemid=79

1 komentar:

  1. Ngomong"ini tulisan ngambil dari Parisadha atw buatan sendiri Go ?

    BalasHapus