Jumat, 02 Juli 2010

Sekilas Tentang Pande Bangke Mawong

Tidak hanya di kawasan Danau Tamblingan, di kawasan Danau Beratan pun ditemukan benda-benda purbakala yang merupakan peralatan kerja profesi warga berupa perabot mamande seperti pangububan atau palungan pendingin. Artinya pemukiman komunitas Pande pada masa itu begitu luas wilayahnya. Di samping itu, kecerdasannya juga sangat tinggi, sehingga raja-raja di Bali mengandalkan warga Pande Tamblingan untuk memproduksi beraneka ragam senjata dan peralatan perang lainnya, seperti baju besi misalnya.

Profesionalisme dan kecerdasan warga Pande Tamblingan inilah yang membuat Kerajaan Majapahit gusar, karena merasa sulit menundukkan Bali. Adapun prajurit-prajurit kerajaan Bali saat itu telah dipersiapkan dengan senjata-senjata bertuah. Salah satu senjata bertuah dan sakti yang berhasil dibuat di Tamblingan oleh warga Pandenya adalah senjata keris yang bernama Keris Bangke Maong. Senjata keris inilah yang benar-benar ditakuti oleh Gajah Mada dan bala tentaranya. Nama keris inilah yang kelak menjadi nama warga pande yang ada di Tamblingan ini.

Kerajaan Majapahit yang berobsesi menyatukan seluruh nusantara di bawah kekuasaannya, dipimpin Mahapatih Gajah Mada berusaha keras menguasai Kerajaan Bali, dengan terlebih dahulu menghancurleburkan basis pembuatan senjata di kawasan sekitar Danau Tamblingan yang notabene Warga Pande Tamblingan sebagai pekerja profesionalnya. Strategi Gajah Mada ini masuk akal dan sangat politis. Apabila sumber pembuatan senjata telah hancur, maka kekuatan persenjataan Bali menjadi lumpuh sehingga mudah ditundukkan.

Akhirnya Majapahit menyerbu Bali pada tahun 1343 yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada. Salah seorang panglima yang ikut dalam invasi Majapahit ke Bali itu adalah Arya Cengceng yang mendapat tugas khusus untuk menghancurleburkan kawasan basis pembuatan senjata di Tamblingan dan usahanya itu berhasil.

Warga Pande Tamblingan meninggalkan tempat kelahirannya dengan terlebih dahulu mengamankan belasan prasasti dengan cara menanamnya di bawah tanah, termasuk benda-benda berharga lainnya, karena tidak mungkin mereka bawa mengungsi. Bahkan diperkirakan sejumlah prasasti ada yang sengaja dibuang ke Danau Tamblingan agar terjamin keamanannya, dengan harapan dapat diambil kembali manakala suasana sudah memungkinkan.

Dengan terbunuhnya sebagian terbesar Warga Pande Tamblingan, otomatis perlengkapan persenjataan perang Raja Bali ketika itu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten atau Sri Gajah Waktra kurang memadai, yang berujung pada jatuhnya Kerajaan Bali (tahun 1343).

Jatuhnya Kerajaan Bali semakin menyebabkan warga Pande Tamblingan mengungsi ke wilayah lainnya agar terbebas dari kepungan bala tentara Majapahit yang terkenal ganas. Para penguasa ketika itu berusaha keras untuk memprioritaskan warga Pande Tamblingan terlebih dahulu mengungsi, dengan harapan nantinya warga bisa kembali ke tempat asalnya mereka dengan jaminan keamanan dari penguasa, hal ini bahkan ditatahkan dalam dua buah prasasti. Akan tetapi warga Pande Tamblingan tetap tidak mau kembali, bahkan tidak sedikit yang kemudian ‘nyineb raga’ (menyembunyikan identitas) agar sama sekali tidak terdeteksi keberadaanya.

Ketika perang berakhir, Arya Cengceng beserta pengikutnya berhasil menduduki dan mengancurleburkan komunitas Pande Tamblingan. Setelah beberapa tahun, diberlakukanlah rekonsiliasi, untuk merangkul kembali dan mengambil hati warga Pande Tamblingan. Arya Cengceng didaulat untuk melakukannya, akan tetapi tetap tidak berhasil karena warga Pande Tamblingan trauma dengan masa lalu.
Oleh karena tidak berhasil melakukan rekonsiliasi meskipun memenangkan perang, Arya Cengceng ditarik dari Tamblingan dan ditempatkan di Bedahulu. Sejak ditariknya Arya Cengceng ke Bedahulu, kabarnya tidak terdengar sama sekali. Tidak ada lagi yang melanjutkan keturunan Arya Cengceng dan dianggap putung.

Keengganan warga Pande Tamblingan untuk kembali ke tanah asalnya ditindaklanjuti oleh para penguasa pada jaman tersebut dengan mengeluarkan dua prasasti untuk membujuk warga Pande Tamblingan kembali pulang, usaha ini tetap saja tidak berhasil. Prasasti pertama dikeluarkan oleh Raja Prameswara tanggal 3 tahun 1306 Saka atau 1384 Masehi yang memerintahkan Arya Cengceng agar jangan mengganggu warga Pande Tamblingan, segera meninggalkan tempat tersebut dan tinggal di Goa Gajah. Sementara warga Pande Tamblingan diminta agar kembali ke tempat asalnya dari tempat pengungsian.

Himbauan Raja Prameswara tersebut rupanya tidak mendapat respons dari warga Pande Tamblingan di pengungsian, karena khawatir himbauan itu hanyalah jebakan. Mengingat pentingnya peranan warga Pande Tamblingan, maka penguasa kembali menerbitkan prasasti pada Sasih Kedasa (sekitar bulan April) tahun 1930 dengan isi dan maksud yang sama. Hanya saja warga Pande Tamblingan tetap tidak bergeming dan memilih untuk tetap nyineb wangsa (menyembunyikan identitas).

Ada dua versi yang menjelaskan mengapa warga Pande Tamblingan disebut sebagai Pande Bangke Maong. Versi pertama menjelaskan bahwa sebagai akibat kebertuahan (keampuhan) senjata yang dibuat warga Pande tersebut, menyebabkan siapapun yang terkena senjata walau hanya tergores atau bahkan tersentuh saja, seketika itu juga orang tersebut akan mati dan beberapa saat kemudian mayatnya (bangke) akan berubah menjadi rusak, kotor dan kusam (maong). Sehingga lahirlah istilah Pande Bangke Maong.

Versi lain mengatakan bahwa Bangke Maong sesungguhnya hanyalah plesetan saja dari kata-kata Pande Bang Kemaon (Pande yang hanya berwarna merah atau bang). Sebagaimana diketahui bahwa warna merah adalah warna khas Pande sebagai simbol dari Bhatara Brahma, junjungan warga pande yang ingin menunjukkan jati diri sebagai penyembah Brahma.

Dewasa ini, warga Pande Bangke Maong ditenggarai berada di beberapa wilayah di Bali seperti di sekitar Desa Rendang (Karangasem), di Desa Semita, Srongga dan Pejeng (Gianyar), di Desa Kayu Putih (Tabanan) dan beberapa tempat lainnya.

Kendatipun masih membutuhkan kajian yang lebih detail dengan melakukan napak tilas perjalanan para leluhur Pande pada jaman dahulu, untuk sementara Pande Bangke Maong yang kini tersebar di wilayah-wilayah tersebut, dapat diyakini adalah mawiwit atau berasal dari Tamblingan. Sehingga wajar kalau mereka harus merapatkan barisan untuk mempersatukan diri menyatukan visi tentang asal dan penyebaran Pande Bangke Maong di Bali.

* * *

Tulisan diatas saya ambil dari Buku ‘Catatan Pendakian Spiritual Dedes’ yang disusun oleh I Made Suarsa dan diterbitkan oleh Maha Semaya Warga Pande Propinsi. Adapun sumber Pustaka yang (diperkirakan) digunakan adalah ‘Pande Tamblingan’ oleh Made Kembar Kerepun tahun 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar